Senin, 22 Oktober 2012

Pengusaha dan Penguasa dalam Evolusi Kapitalisme


Judul Buku: Soeharto & Bangkitnya Kapitalisme Indonesia
Penulis: Prof Richard Robison
Penerjemah: Harsutejo
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: Juni 2012
Tebal: 432 hlm
ISBN: 978-602-9402-09-4



VOC memegang peranan penting di dalam tonggak sistem korporasi, suatu tata cara ekonomi liberal atau pola kapitalisme. Kemudian sisa-sisa sistem VOC di Nusantara, zaman prakemerdekaan, berevolusi.
Pada era kolonial VOC memberikan “ajaran” mengenai kepemilikan tanah, yang dikendalikan swasta, kepada penduduk pribumi. Kepemilikan tanah inilah yang menjadi tonggak berdirinya kapitalisme.
Evolusi yang paling utama terjadi pada masa kepemimpinan otoritarian, era orde baru. Kapitalisme di Indonesia terus berkembang, yang bermula dari peran-peran pemerintah dan pemilik modal (kapital). Relasi keduanya mulai tampak pada 1958. BUMN (Badan Usaha Milik Negara) berperan penting di dalam relasi tersebut. Pada masa itu BUMN memegang peranan penting dalam laju impor-ekspor sebagai “dinamisator” perekonomian, khususnya pencari keuntungan negara, dengan cara monopoli unit-unit usaha dari berbagai sektor. Pada era yang disebut era demokrasi terpimpin, BUMN mengambil alih beberapa sektor unit usaha perusahaan-perusahaan Belanda, yang meliputi perubahan kepemilikan 90% hasil perkebunan, 60% perdagangan luar negeri, 246 pabrik dan tambang, sejumlah bank dan berbagai macam industri jasa (halaman 57).
Pascatahun 1958 itulah, pengusaha-pengusaha di Indonesia mulai gerah dan goyah. Selanjutnya, di saat Soeharto berkuasa, pengusaha-pengusaha mulai menggurita. Era ini disebut di dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia sebagai era pembangunan kelompok bisnis swasta di kala kepemimpinan otoritarian berkuasa.
Buku yang ditulis oleh seorang profesor bidang kajian Asia, Murdoch University, Australia, ini memaparkan evolusi atau perubahan-perubahan kapitalisme di Indonesia pada masa kolonial dan pascakolonial. Profesor yang bernama Richard Robinson ini memaparkan peran penting orde baru dalam memantapkan kapitalisme tersebut.
Di dalam buku yang pernah dilarang peredarannya ini memaparkan, secara garis besar ada tiga tahap evolusi kapitalisme di Indoesia. Tahap tersebut, yakni (a) mereka yang bertahan dari periode benteng dan ekonomi terpimpin, (b) kaum birokrat politik orde baru yang membangun grup-grup bisnis swasta, dan (c) kelompok kapitalis baru yang muncul dengan perlindungan politik pusat-pusat kekuatan birokrasi politik baru (halaman 261).
Uraian mengenai perkembangan kapitalisme di era-70an hingga 80-an disajikan secara detail. Pada masa-masa ini hubungan antara pengusaha dengan penguasa sangat dekat. Pemerintah melalui “hak” keberkuasaannya cukup piawai mengolah stabilitas internal negara demi memainkan peranan pasar.
Di dalam buku ini pula dijelaskan bagaimana kedekatan para pengusaha tionghoa kepada Soeharto, khususnya sebelum Soeharto menjabat presiden. Di antara pengusaha-pengusaha tionghoa itu, ada yang telah dikenal cukup luas oleh kalangan pengusaha pemasok kebutuhan masyarakat sejak era kolonial.
Begitu uraian-uraian korporasi, monopoli, dan mengenai relasinya terhadap pemimpin era orde baru dijelaskan sangat apik di dalam buku terbitan yang diterbitkan oleh penerbit khusus buku-buku sejarah ini. Dengan paparan yang cukup komprehensif dan lugas ini, Sang Profesor juga menyajikan data-data, baik data historis maupun data pewaktuan, secara apik. Seperti uraian data grup usaha yang dikendalikan oleh Soeharto, dipaparkan dari halaman 273 hingga halaman 286. Tentu saja, keberhasilan kapitalisme seperti itu menunjukkan bahwa perkembangannya sudah berada di tingkat yang tinggi terhadap masalah-masalah, seperti korupsi para pejabat, efisiensi pemerintahan, masalah lisensi dan eskportir, kualitas perencanaan jangka panjang dan konsultasi (halaman 292). 
Begitulah, dengan cermat kita dapat memahami bagaimana ekonomi politik atau sistem kapitalisme itu justru diperani oleh pemerintah sendiri, hingga akhirnya kini berdiri korporat-korporat kelas internasional.


Fredy Wansyah, penikmat buku, tinggal di Jakarta
Pegiat Kebon Sirih Wisdom

*resensi ini dipublish pula di laman Resensi Okezone

Rabu, 19 September 2012

Cinta; Bertemu Saat Terjatuh


                                                        
(sebuah resensi, fredy wansyah)


Umat Islam di Indonesia bisa saja lebih banyak dari pada negara-negara di Timur Tengah maupun negara-negara Afrika bagian Utara. Badan-badan resmi Indonesia menyatakan bahwa 80% masyarakat Indonesia merupakan umat muslim. Itu artinya, 80% dari 260 juta jiwa masyarakat Indonesia adalah umat muslim. Faktanya, pengetahun ke-Islaman di Indonesia tidak semaju negara-negara Timur Tengah dan Afrika bagian utara atau sekitarnya, Mesir misalnya.

Faktor utamanya ialah sejarah. Sejarah keberadaan Islam di Indonesia jauh lebih muda dibandingkan negara-negara yang telah maju ke-Islamannya. Karena itulah, banyak pelajar Indonesia menuntut ilmu sampai ke Mesir. Ilmu yang mereka cari ialah ilmu yang berkaitan dengan Islam.

Atas dasar itulah, novel berjudul Ayat-Ayat Cinta dengan ketebalan isi 411 halaman ini  dilahirkan oleh penulisnya, Habiburrahman El-Shirazy. Bermula dari bedanya perkembangan dan kemajuan ilmu ke-Islaman antara Indonesia dengan Mesir. Mesir telah mendirikan banyak universitas-universitas Islam terkemuka, sementara Indonesia, paling banter di kancah internasional, ada Universitas Paramadina. Tentunya, itu pun dengan segala keterbatasannya.

Dikisahkanlah seorang pemuda bernama Fahri bin Abdullah Shiddiq berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menuntut ilmu. Tujuannya ialah berguru pada Syaikh Utsman Abdul Fattah, seorang syaikh yang cukup ternama di Kairo. Ia belajar tentang qiraah Sab’ah  dan ushul tafsir.

Suatu kali, saat ingin menuju ke tempatnya belajar, Fahri berdiri. Di sebelahnya pun berdiri seorang pemuda Mesir, Ashraf. Situasi kebetulan itu membuat Fahri berkenalan dengan Ashraf. Kedua pemuda yang masing-masing mewakili karakter bangsanya itu pun saling bertukar pikiran, bercerita, termasuk pandangan Ashraf atas kebenciannya terhadap orang-orang Amerika. 

Secara kebetulan pula, saat mereka bercerita masuklah tiga orang yang merupakan warga Amerika, diantaranya ialah perempuan tua. Karena kultur di Mesir bercorak patriarki, yang melihat perempuan sebagai sosok yang lemah secara badaniah, muncul keanehan di dalam metro tersebut saat seorang perempuan bercadar memberikan tempat duduknya kepada perempuan tua Amerika itu.

Saat itu pulalah alur utama pengisahan Ayat-Ayat Cinta, yang dominan berkisah soal cinta, terdapat konflik. Saat perempuan itu memberikan tempat duduknya kepada perempuan tua yang dianggap oleh orang-orang Mesir di dalam metro tersebut sebagai orang yang patut dibenci akibat ulah negaranya yang kerap mengecam dan menindas negara-negara Islam, spontan orang-orang Mesir di metro melontarkan kata-kata kasar kepada. Penghormatan dengan kursi itu dianggap tidak layak. 

Orang-orang Mesir dan perempuan cadar itu pun akhirnya bercekcok dengan menggunakan bahasa Inggris, yang lagi-lagi kebetulan warga Mesir di Metro itu ada yang bisa berbahasa Inggris. Di metro itu, perempuan cadar itu tidak setimpal melawan banyak orang. Akibatnya, perempuan cadar itu selayaknya orang (tokoh cerita) yang sedang tersakiti.

Fahri berusaha meredakan perdebatan itu dengan menyuruh mereka membaca shalawat Nabi. Karena biasannya dengan shalawat Nabi, orang Mesir akan luluh kemarahannya. Fahri menjelaskan bahwa apa yang dilakukan perempuan cadar itu merupakan suatu sikap yang benar. 

Melalui Ahsraf, perdebatan itu mulai reda, sebab Ashraf mengeluarkan pernyataan bahwa Fahri ini merupakan murid Syaikh Utsman Abdul Fattah. Orang-orang Mesir yang tadi marah mulai reda dan mengikuti apa pernyataan Fahri. Sebagai sosok (tokoh cerita) yang heroik, Fahri mendapatkan simpati, termasuk salah satu dari ketiga orang Amerika yang jadi penyebab keriuhan di dalam metro tersebut.

Usai keriuhan di dalam metro, Fahri dan perempuan cadar itu pun berkenalan. Usai jatuh, berkenalan. Di dalam konflik kecil di metro tersebut, perempuan cadar itu selayaknya “bertemu usai jatuh”, seperti pola cerita-cerita pop pada umumnya; bertemu saat sakit atau bertemu saat kecelakaan atau duduk di sebelah saat terbaring sakit.

Perempuan cadar itu juga pelajar di Mesir, yang berasal dari Jerman. Namanya adalah Aisah. Usai perkenalan dan ketenganan dalam salah satu alur cerita Ayat-Ayat Cinta itu, Aisah dan Fahri bergitu akrab. Keakraban mereka berlanjut hingga ke jenjang pernikahan.

Namun, kisah percintaan antara Fahri dan Aisah dimunculkan dengan berbagai konflik. Fahri, yang ditampilkan dengan lugu dan rupawan, ternyata memancing perhatian banyak perempuan. Di tempat tinggalnya, ada dua perempuan yang jatuh hati kepada Fahri. Noura, sebagai perempuan yang mendapat iba dari Fahri, dan Maria, sebagai perempuan nonmuslim.

Hubungan Fahri dan Aisah mulai diuji melalui Noura. Fahri dinyatakan oleh Noura telah memperkosa, dan menyebabkan dirinya hamil. Di sinilah puncak konflik keempat tokoh yang berperan besar dalam alur cerita. Dipersidangan, Fahri dituduh sebagai bapak dari anak yang dikandung Noura. Pada akhirnya, Maria mampu memberikan kepastian perihal tuduhan tersebut, setelah Maria dinikahi oleh Fahri akibat kondisi fisiknya yang lemah saat momen persidangan. Selesailah sudah konflik lika-liku (istilah umum yang sering digunakan) Fahri dengan Aisah. Sederhan dan berpola alur seperti alur-alur cerita pop pada umumnya.