Judul
Buku: Soeharto & Bangkitnya
Kapitalisme Indonesia
Penulis: Prof Richard Robison
Penerjemah: Harsutejo
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: Juni 2012
Tebal: 432 hlm
Penulis: Prof Richard Robison
Penerjemah: Harsutejo
Penerbit: Komunitas Bambu
Cetakan: Juni 2012
Tebal: 432 hlm
ISBN:
978-602-9402-09-4
VOC memegang peranan
penting di dalam tonggak sistem korporasi, suatu tata cara ekonomi liberal atau
pola kapitalisme. Kemudian sisa-sisa sistem VOC di Nusantara, zaman prakemerdekaan,
berevolusi.
Pada era kolonial VOC
memberikan “ajaran” mengenai kepemilikan tanah, yang dikendalikan swasta,
kepada penduduk pribumi. Kepemilikan tanah inilah yang menjadi tonggak
berdirinya kapitalisme.
Evolusi yang paling
utama terjadi pada masa kepemimpinan otoritarian, era orde baru. Kapitalisme di
Indonesia terus berkembang, yang bermula dari peran-peran pemerintah dan
pemilik modal (kapital). Relasi keduanya mulai tampak pada 1958. BUMN (Badan
Usaha Milik Negara) berperan penting di dalam relasi tersebut. Pada masa itu
BUMN memegang peranan penting dalam laju impor-ekspor sebagai “dinamisator”
perekonomian, khususnya pencari keuntungan negara, dengan cara monopoli
unit-unit usaha dari berbagai sektor. Pada era yang disebut era demokrasi
terpimpin, BUMN mengambil alih beberapa sektor unit usaha perusahaan-perusahaan
Belanda, yang meliputi perubahan kepemilikan 90% hasil perkebunan, 60%
perdagangan luar negeri, 246 pabrik dan tambang, sejumlah bank dan berbagai
macam industri jasa (halaman 57).
Pascatahun 1958 itulah,
pengusaha-pengusaha di Indonesia mulai gerah dan goyah. Selanjutnya, di saat
Soeharto berkuasa, pengusaha-pengusaha mulai menggurita. Era ini disebut di
dalam buku Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme Indonesia sebagai era pembangunan
kelompok bisnis swasta di kala kepemimpinan otoritarian berkuasa.
Buku yang ditulis oleh
seorang profesor bidang kajian Asia, Murdoch University, Australia, ini
memaparkan evolusi atau perubahan-perubahan kapitalisme di Indonesia pada masa
kolonial dan pascakolonial. Profesor yang bernama Richard Robinson ini
memaparkan peran penting orde baru dalam memantapkan kapitalisme tersebut.
Di dalam buku yang
pernah dilarang peredarannya ini memaparkan, secara garis besar ada tiga tahap
evolusi kapitalisme di Indoesia. Tahap tersebut, yakni (a) mereka yang bertahan
dari periode benteng dan ekonomi terpimpin, (b) kaum birokrat politik orde baru
yang membangun grup-grup bisnis swasta, dan (c) kelompok kapitalis baru yang
muncul dengan perlindungan politik pusat-pusat kekuatan birokrasi politik baru
(halaman 261).
Uraian mengenai
perkembangan kapitalisme di era-70an hingga 80-an disajikan secara detail. Pada
masa-masa ini hubungan antara pengusaha dengan penguasa sangat dekat.
Pemerintah melalui “hak” keberkuasaannya cukup piawai mengolah stabilitas
internal negara demi memainkan peranan pasar.
Di dalam buku ini pula
dijelaskan bagaimana kedekatan para pengusaha tionghoa kepada Soeharto,
khususnya sebelum Soeharto menjabat presiden. Di antara pengusaha-pengusaha
tionghoa itu, ada yang telah dikenal cukup luas oleh kalangan pengusaha pemasok
kebutuhan masyarakat sejak era kolonial.
Begitu uraian-uraian
korporasi, monopoli, dan mengenai relasinya terhadap pemimpin era orde baru
dijelaskan sangat apik di dalam buku terbitan yang diterbitkan oleh penerbit
khusus buku-buku sejarah ini. Dengan paparan yang cukup komprehensif dan lugas
ini, Sang Profesor juga menyajikan data-data, baik data historis maupun data
pewaktuan, secara apik. Seperti uraian data grup usaha yang dikendalikan oleh
Soeharto, dipaparkan dari halaman 273 hingga halaman 286. Tentu saja,
keberhasilan kapitalisme seperti itu menunjukkan bahwa perkembangannya sudah
berada di tingkat yang tinggi terhadap masalah-masalah, seperti korupsi para
pejabat, efisiensi pemerintahan, masalah lisensi dan eskportir, kualitas
perencanaan jangka panjang dan konsultasi (halaman 292).
Begitulah, dengan cermat kita dapat memahami
bagaimana ekonomi politik atau sistem kapitalisme itu justru diperani oleh
pemerintah sendiri, hingga akhirnya kini berdiri korporat-korporat kelas
internasional.
Fredy
Wansyah, penikmat buku, tinggal di Jakarta
Pegiat Kebon Sirih Wisdom
*resensi ini dipublish pula di laman Resensi Okezone